0

SISTEM RIBA TERHADAP PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM BANK SYARIAH

Posted by Unknown on 08.53
BAB II
KERANGKA TEORI
A.    Pengertian Riba Dalam Perspektif Islam
Menurut etimologi, riba mermiliki beberapa pengertian yaitu:
1.      Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2.      Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3.      Berlebihan atau menggelembung.

Menurut terminologi, ulama fiqih mendefinisikannya sebagai berikut :
1.      Ulama Hanabilah
“Pertambahan sesuatu yang dikhususkan.”
2.      Ulama Hanafiyah
“Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta.”[1]
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan).
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Dikatakan batil karena pemilik dana mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari yang dipinjam tanpa memerhatikan apakah peminjam mendapat keuntungan atau mengalami kerugian. Dan riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.[2]
Jadi penulis dapat mmenyimpulkan bahwa riba adalah pengambilan tambahan yang menguntungkan sebagian kecil orang dan merugikan banyak (bathil) yang bertentangan  denngan prinsip muamalat Islam.
Pengertian senada disampaikan oleh Jumhur Ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai Madzahib Fiqhiyyah, diantaranya sebagai berikut :
a.      Badr Ad-Din Al-Ayni Pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
b.      Imam Syarkasi dari Mahzab Hanafi
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut).”
c.       Imam An-Nawawi dari Mazhab Syafi’i
“Bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.”
d.      Ja’far Ash-Shadiq dari kalangan Mahzab Syiah
“Ja’far Ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba – Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”
e.       Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mahzab Hanbali
“Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab : Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”[3]

Dalam bahasa Indonesia riba diartikan sebagai bunga (baik sedikit maupun banyak). Dalam bahasa Inggris riba dapat diartikan interest (bunga yang sedikit) atau usury (bunga yang banyak). Sebagian besar ulama berpendapat usury maupun interest termasuk riba.
Menurut Ijma’, konsensus  para fuqaha tanpa kecuali, bunga tergolong riba (Chapra, 1985) karena riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest). Lebih jauh lagi, Lembaga-lembaga Islam Internasional maupun Nasional telah memutuskan sejak tahun 1965 bahwa bunga bank atau sejenisnya adalah sama dengan riba dan haram secara Syariah.[4]
B.     Dasar Hukum
Umat Islam dilarang mengambil apapun jenis riba. Riba hukumnya haram berdasarkan Al-Qur’an, As Sunnah.[5]
Dalil-dalil keharaman riba, sebagai berikut :
1.      Al-Qur’an
a.       Al-Baqarah: 275[6]
http://www.surah.my/images/s002/a275.png
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
b.      Ali Imran: 130[7]
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
2.      As-Sunnah/ Hadits
a.       Hadits No. 852[8]
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى اَلرِّبَا عِرْضُ اَلرَّجُلِ اَلْمُسْلِمِ )  رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ مُخْتَصَراً, وَالْحَاكِمُ بِتَمَامِهِ وَصَحَّحَهُ
Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih.
b.      Hadits No. 885[9]
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْناً بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْناً بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ, فَمَنْ زَادَ أَوْ اِسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama timbangannya dan sama sebanding, dan perak dengan perak yang sama timbangannya dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka itu riba." Riwayat Muslim.

C.     Macam-Macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual-beli.Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah, sedangkan kelompok kedua riba jual-beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Ibnu Qayim membagi riba dalam dua macam, yaitu Riba Nasi’ah dan Riba Fadli.[10]
Menurut ulama’ syafi’iyah riba terbagi menjadi tiga yaitu riba fadhl, riba yad, dan riba nasi’ah. Sedangkan menurut sebagian ulama membagi riba menjadi empat macam yaitu riba qardh, riba jahilliyah, riba fadhl, dan riba nasi’ah.
a.       Riba Nasi’ah adalah riba yang terjadi karena adanya tambahan  pembayaran hutang. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
b.      Riba Fadli atau riba yang samar, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan dalam jual beli barang yang sejenis. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram ketang dengan satu setengah kilogram kentang.
c.       Riba Yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan  (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum  dengan sya’ir tanpa harus saling menyrahkan dan menerima di tempat akad.
d.      Riba Qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhaadap yang berutang.
e.       Riba Jahiliyyah yaitu utang yang dibayar lebih dari pokoknnya,  karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Para ahli hukum Islam telah mermbahas masalah jenis riba dan harta yang dimiliki oleh seseorang termasuk kategori riba. Kesimpulan dari pendapat ‘ulama’ mengenai harta dan barang yang mempunyai kategori riba, antara lain : 1) emas dan perak, baik akan dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainya;  2) bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
D.    Illat Hukum  Larangan Riba
Menurut ulama Hanafiyah, illat hukum keharaman riba al-nasi’ah adalah kelebihan pembayaran dari pokok hutang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu. Misalnya, Ahmad berhutang kepada Amir sejumlah dua ratus ribu rupiah, yang pembayarannya dilakukan bulan depan dan dengan syarat pengembalian hutang itu dilebihkan menjadi dua ratus lima puluh ribu rupiah. Kelebihan uang dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba al-nasi’ah.
Unsur kelebihan pembayaran dapat berlipat ganda, apabila hutang tidak dapat dibayar pada saat jatuh tempo,  menurut ulama Hanafiyah, merupakan suatu kezaliman dalam muamalah. Kezaliman, bagaimanapun bentuknya, menurut mereka adalah haram.  Oleh karena itu, Allah menyatakan pada akhir ayat riba al-Baqarah, 2 ; 279 : “….kamu tidak (jangan) menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. Ulama Malikiyyah , Syafi’iyyah dan Hanabilah memandang illat hukum larangan riba an-nasi’ah, karena ada kelebihan (tambahan-bunga) yang dikaitkan dengan pembayaran tunda (tenggang waktu), baik kelebihan itu dari pokok hutang atau pada barang sejenis maupun tidak sejenis. Mereka sepakat, jika kelebihan itu tidak ditetapkan dimuka, maka kelebihan itu tidak termasuk riba. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi, ketika membayar hutang kepada Jabir ibn’ Abdillah , Nabi melebihkannya. (Hadits Riwayat Bukhori Muslim).
Berdasarkan pendapat ulama ahli fiqh mengenai riba diatas, maka dapat dipahami bahwa illat hukum larangan riba adalah adanya tambahan (bunga) dari pokok harta yang tidak dimbangi oleh transaksi pengganti yang dibenarkan oleh syara’. Illat hukum adalah sesuatu sifat yang menjadi motivasi atau yang melatar-belakangi terbentuknya suatu hukum.M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa ada kata kunci dalam surat Al-Baqarah ayat 279 yaitu  fa lakum ru’usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu). Kata ini menunjukkan bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. Jika demikian, berarti setiap kelebihan atau penambahan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian, kata kunci dalam ayat 279 Al-Baqarah ini menjadi dalil untuk menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipatganda atau tidak, telah diharamkan al-Qur’an dengan turunnya ayat tersebut. Dalam menetapkan hukum, para ‘ulama’ biasanya mengambil langkah yang dalam Ushul Fiqih dikenal dengan ta’lil (mencari illat). Para ‘ulama’ mengemukakan ‘illat riba nasi’ah adalah:
1.      Kesamaan sifat benda yang ditransaksikan dalam hal ukuran, timbangan dan takaran.
2.      Adanya tambahan karena tenggang waktu tanpa ‘iwad (imbalan).[11]


BAB III
HASIL ANALISIS
A.    Analisis Masalah
                 Perbankan syariah memiliki keunikan yang membedakannya dengan perbankan konvensional. Jika ditelusuri lebih mendalam terdapat cakupan yang lebih luas daripada bank konvensional. Bahkan yang menjadi perbedaan ulama adalah terletak pada kemaslahatan semua komponen  yang terlibat dalam sistem komponen  perbankan syariah itu sendiri, karena dalam perbankan syariah komponen yang terlibat dapat melakukan transaksi dan menetapkan bagi hasil yang disepakati dimuka.
                 Riba makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Sementara para Ulama Fiqih mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya.[12]
                 Dengan demikian pengertian tambahan dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam hukum Islam. Dalam riba, kelebihan yang secara khusus menunjukan pada kelebihan yang diminta dengan cara khusus.
                 Sejak adanya riba, rasa kasih sayang dan tolong-menolong  makin hilang. Contohnya, si pemberi pinjaman dan si peminjam uang sudah tidak saling mempercayai, si pemberi pinjaman sudah jelas keuangannya (sekian persen dari pinjaman), sedangkan si penerima pinjaman belum pasti untung. Kelebihan pembayaran dari pinjaman itu belum tentu ada manfaatnya dari si peminjam. Sedangkan dalam riba seseorang mengambil harta orang lain tanpa tanggungan (tanpa timbal balik), hal ini termasuk dari dzalim.[13]

B.     Pembahasan Kasus
                 Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Yang dimaksud riba dalam Al-Quran  yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syariah, misalnya transaksi bisnis atau komersial yang melegimitasi terhadap penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
                 Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun njika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimnya. Dalam proyek bagi hasil, para pesrta pengkongsian berhak mendapatk keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut seta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.[14]
     Hukum Riba dalam Islam, salah satunya adalah dalam surah Al-Baqarah: 278-279[15]
Artinya:
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

            Dan juga pada hadits berikut juga menekankan sikap Islam yang melarang riba : “Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, Rasulullah saw. melarang penjualan emas dengan emasdan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan memmbolehkan kita menjual emas  dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita” (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu)
     Ajaran Islam mendorong kepada warga masyarakat untuk melakukan praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Kedua-duanya memberikan keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata dan mendasar, seperti berikut:
Bunga
Bagi Hasil
*      Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
*      Penentuan besarnya rasio/  nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi
*      Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
*      Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
*      Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
*      Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
*      Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
*      Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Apabila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua pihak
*      Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam
*      Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil


Islam melarang praktek riba, karena dapat menibulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya. Adapun dampak akibat praktek riba itu, antara lain:[16]
1.      Dampak Ekonomi
 Dampak inflator yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang, karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya ialah utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga akan menjadikan peminjam  tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan.
2.      Sosial Kemasyarakatan
Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Karena dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang akan dikeola pasti untung. Masalahnya  bahwa siapa pun tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi besok atau lusa, apakah akan untung atau rugi, berhasil atau gagal.





[1]Dr. Rachmat Syafe’i, M.A, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2004), h. 259-260.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), h. 37.
[3]Dr. H. Zainuddin Ali, M.A, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafik, 2008), h. 89-92.
[4]Ascarsya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 14.
[5] Abdullah Saeed, PhD, Menyoal Bank Syariah : Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Jakarta : Paramadina, 2004), h. 21.
[6] Al-Qur’an dan Terjemah.
[7] Al-Qur’an dan Terjemah.
[8] Terjemah Kitab Bulughul Maram.
[9] Terjemah Kitab Bulughul Maram.
[10] T. Ibrahim dan H. Darsono, Penerapan Fiqih, (Jakarta :Tiga Serangkai, 2009), h. 35
[11]Dr. Muh. Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 3.
[12] MA. Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), h. 146-147.
[13] Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar 2, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), h. 561.
[14] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Prraktik, (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 37-38.
[15] Al-Qur’an dan Terjemah.
[16]Ibid, h.67. 

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 Write All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.